Napak Tilas Writing Challenge (Wicha)
Hal
terberat dalam menulis itu adalah konsistensi. Bukan ide. Bukan teori.
Bagaimana agar bisa menulis setiap hari, itulah tantangannya.
Sekilas
tampak sederhana. Cukup sediakan 10-15 menit saja, maka setidaknya sudah bisa
menulis 1 halaman. Waktu yang sedemikian singkat itu tak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan lamanya menonton televisi, mengotak-atik gawai, atau nonton
video yang bisa berjam-jam.
Namun
prakteknya, tak semudah itu. Rasa malas seringkali datang bertubi-tubi. Tubuh
yang lelah setelah seharian beraktivitas, menciutkan semangat hingga titik
nadir. Kalau sudah begitu, tubuh seakan menuntut untuk berleha-leha saja.
Membaca keseruan di grup WA, menonton televisi atau video, atau paling banter,
membaca buku sambil tiduran.
Harapan
untuk menulis setiap hari tinggal harapan. Rasanya sulit, sesulit memecahkan
batu karang yang besar. Kalaupun hari ini menulis beberapa halaman, besok libur
karena merasa sudah menulis banyak. Baru beberapa hari kemudian, atau bahkan
seminggu kemudian, menulis lagi. Libur lagi. Demikian seterusnya.
Saya
menyadari, untuk benar-benar menjadi seorang penulis tidaklah begitu caranya.
Kualitas berbanding lurus dengan produktivitas. Semakin sering menulis, semakin
ahli dalam meramu kata-kata. Teorinya, lebih baik menulis sedikit tapi
konsisten daripada menulis banyak tapi jarang. Lebih bagus lagi, kalau bisa
banyak dan sering.
Karena itu,
saya mencari cara bagaimana mengatasi hambatan ini. Sampai kemudian, ada yang
bercerita tentang “one day one post”, semacam program komunitas yang anggotanya
diwajibkan menulis 1 artikel setiap hari. Saya tidak tahu bagaimana program itu
berjalan dan saya tidak meminta penjelasan lebih lanjut.
Hanya saja,
tiba-tiba saya teringat program Reading Challeng (RC) FLP Jatim yang sedang
berjalan. Program ini sukses membuat saya dan teman-teman lainnya keranjingan
membaca. Terbetik gagasan untuk membuat Writing Challenge (WiCha). Ide ini
disetujui oleh teman-teman pengurus lainnya. Sehingga pada awal tahun 2018,
di-launchinglah program ini.
Konsep dan
aturan WiCha saya buat sambil meminta pendapat dari yang lain. Prinsipnya mirip
dengan RC, hanya tinggal disesuaikan. Pembagian kelasnya pun sama. Ada 4
jenjang. Mulai dari Premiere Wicha, Junior Wicha, Senior Wicha, dan terakhir
Super Wicha.
Sebagai
penggagas, tentu saya ingin “mencicipi” program baru ini. Berhasilkah menjadi
solusi bagi hambatan saya selama ini? Saya menjadi peserta angkatan pertama
bersama dengan beberapa orang lainnya, anggota FLP dari berbagai cabang di Jawa
Timur.
Mulai dari
Premiere Wicha. Saya lupa berapa persis jumlah pesertanya saat itu. Kalau tidak
salah, sekitar duapuluhan. Tantangannya masih relatif mudah. Hanya menulis 250
kata setiap hari. Saya bisa melaluinya. Dalam waktu satu bulan, saya bisa
menulis rutin dan hampir setiap hari. Mungkin hanya satu atau dua kali saja
terlewat, karena ketiduran.
Memasuki
kelas berikutnya. Junior Wicha. Tantangan mulai bertambah. Peserta diwajibkan
untuk menuliskan sesuai kategori tema tertentu setiap 8 hari sekali. Target
menulis pun meningkat, menjadi 350 kata setiap hari. Lagi-lagi saya bisa
melaluinya. Meskipun ada juga beberapa yang tumbang karena sering tidak
laporan. Entah karena tidak sampai target atau memang karena tidak menulis.
Kelas
selanjutnya, mulai terasa cukup seru. Menulis minimal 500 kata setiap hari.
Menulis kategori tertentu yang lebih spesifik dan juga ada kewajiban mengirim
karya ke media. Di kelas ini, sudah mulai banyak yang tumbang. Saya sendiri
mulai kewalahan. Namun saya bertekad untuk tetap menulis setiap hari. Saya
berusaha tidak absen satu hari pun. Meski tidak bisa, tapi akhirnya saya lulus
juga.
Peserta
dinyatakan tidak lulus hanya jika memperoleh sejumlah tanda “silang” dan
“pentung” yang menyatakan bahwa ia tidak memenuhi target di hari itu. Termasuk
jika ia tidak mengirim karya ke media atau tidak menulis sesuai tema. Kelas
Senior Wicha tersebut berlangsung selama 50 hari. Dan menyisakan 6 penantang
tersisa. Saya, satu diantaranya.
Maka
sampailah saya dan 5 oran lainnya di kelas pamungkas. Super Wicha. Tahukah
engkau berapa target menulis harian di kelas Super Wicha ini? 900 kata per
hari. Atau kurang lebih 3 halaman setiap hari. Hampir dua kali lipat
dibandingkan saat di kelas Senior Wicha.
Selain itu,
ada tantangan tambahan di samping mengirim karya ke media dan menulsi tema
tertentu. Yaitu, menyelesaikan naskah buku dalam waktu 30 hari. Jika gagal
dalam tantangan ini, hukumannya langsung mendapatkan 4 tanda. Benar-benar
mengerikan.
Kelas Super
Wicha akan berlangsung selama 60 hari. Itu artinya, akan melewati Bulan
Ramadhan dan Lebaran. Tapi keenam penantang sudah menyatakan siap. Ada Fauzi
dari FLP Sidoarjo, yang kecepatan menulisnya luar biasa. Ada Rozikin dari FLP
Sidoarjo yang juga tak mau kalah dari Fauzi. Niswah dari FLP Sidoarjo, yang
kegigihannya tak mau kalah dari mantan gurunya ini. Ada Inel yang selalu
menjadi juara berturut-turut dalam 3 kelas sebelumnya. Lalu Wiwik, sekretaris
FLP Jatim yang perolehan sebelumnya berada di posisi akhir namun tetap
memantapkan diri lulus. Terakhir, saya.
Hari
pertama, semua dengan semangat dan kemampuan puncak. Namun tak lama, Wiwik
tergusur, karena sudah mendapat 8 tanda. Menyusul beberapa hari kemudian,
Fauzi. Padahal Fauzi termasuk yang paling banyak peroleh jumlah kata yang
ditulis setelah Inel. Tapi program ini tidak hanya banyak-banyak jumlah halaman
atau jumlah kata yang ditulis, melain kan juga konsistensi untuk menulis setiap
hari. Sekali lagi, konsistensi. Dan Fauzi gagal dalam poin ini.
Tinggallah
4 orang. Namun jumlah tanda yang dimiliki Rozikin sangat mengkhawatirkan. Benar
saja, ia tumbang setelah lebaran, tepat ketika baru saja melangsungkan akad
nikah, melepas kejombloannya.
Tersisa
saya, Niswa, dan Inel. Saya masih di peringkat 3 sementara. Inel tak bisa
disalip. Perjuangan untuk menaklukkan 60 hari sangat terasa. Terutama saat
hari-hari idul fitri dan setelahnya. Pagi, siang, dan malam diisi dengan
silaturahim hingga ke luar kota. Saya bawa laptop kemana-mana. Bahkan ketika
mudik, saya masih bisa menulis on target.
Tetapi,
tantangannya tidak hanya itu saja. Piala Dunia sudah dimulai. Malam hingga dini
hari mata tersita oleh even akbar sepakbola itu. saya harus berpandai-pandai
lagi mencari waktu untuk menulis. Inginnya pagi hari, target 900 kata
diselesaikan terlebih dahulu. Tetapi sering, hal itu tidak terlaksana. Maka
saya menulis di malam hari, sambil menyaksikan pertandingan sepakbola.
Terkadang
sambil terkantuk-kantuk sangat. Saya berjuang, agar bisa menyelesaikan
tantangan yang kurang beberapa hari lagi. Saat menulis esai ini, yang menjadi syarat
tulisan bertema, sudah memasuki hari ke-57. Artinya, tinggal 3 hari lagi. Saya
tidak boleh lengah.
Niswa, yang
saya kira akan bertahan sampai akhir bersama saya dan Inel, ternyata harus
tereleminasi juga. Sedang sakit, katanya. Dan tentu saja, padatnya aktivitas di
hari-hari lebaran.
Tinggal
saya berdua dengan Inel. Berharap bisa menaklukkan tiga hari tersisa. Karena
jika saya gagal, saya harus mengulang lagi di kelas Super Wicha. Sebenarnya tak
masalah, justru saya akan semakin terlatih lagi menulis setiap hari.
Hanya saja,
ini akan tampak seperti kekalahan dalam pilkada. Setelah berjuang dengan sangat
luar biasa. Kadang tak me-reken
apapun demi menyelesaikan target. Kadang bikin istri cemburu juga karena
terlalu lama di depan laptop. Kadang harus membatalkan aktivitas lainnya,
menahan kantuk berat, hingga menulis di tengah serangan flu berat di Bulan
Ramadhan.
Saat
menulis esai ini pun, saya sambil terkantuk-kantuk setelah seharian ada acara
workshop dan pameran. Tapi sambil terkantuk-kantuk dan menulis, saya juga masih
menonton pertandingan Piala Dunia, Polandia Vs Jepang yang lagi seru-serunya. Hehe.
Sidoarjo,
28 Juni 2018
0 Response to "Napak Tilas Writing Challenge (Wicha)"
Posting Komentar