Laki-Laki yang Kawin dengan Peri
Meski bertaburan nama-nama besar, namun menurut saya tak ada satu pun cerpen yang istimewa dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1995 ini. Laki-laki yang Kawin dengan Peri karya Kuntowijo yang dinobatkan sebagai yang terbaik dari keenambelas cerpen yang lain, juga tak sanggup membuat saya takjub. Ia hanya cerita “biasa” tentang seorang bernama Kromo yang hidup di desa. Orang-orang menyebutnya Kromo Busuk karena konon bau tubuhnya yang busuk hingga tercium dari jarak yang cukup jauh. Dialah laki-laki yang kawin dengan peri itu. Jujur, saya kurang bisa menikmati cerita ini.
Cerpen Yang Tersisa karangan Rayni N Massardi juga tak kalah tidak menarik. Cerita tentang seorang anak yang durhaka pada emaknya. Karena sudah merasa banyak membantu emank dan adik-adiknya, kemudian ia pergi dari rumah begitu saja. Lain lagi dengan Ziarah Lebaran-nya Umar Kayam. Seorang laki-laki yang berziarah ke makam istrinya, pulang ke rumah ibu mertuanya, menemui anaknya di sana. Sementara ia sudah sangat kebelet kawin lagi dengan wanita lain. Hanya saja ia tak punya keberanian untuk itu. Untuk mengawini yati dan membawa Eko kembali ke Jakarka, ke pangkuannya.
Nah, Paduan Suara-nya Jujur Prananto, mungkin sedikit lebih asyik dari yang sebelumnya. Sebuah satir dan kritik tajam terhadap budaya nepotisme. Sugeng, pelatih paduan suara di kantor pemerintah, yang menghadapi goncangan batin, manakala ia harus menyeleksi anggotanya bukan karena mereka adalah pemilik suara terbaik, tapi karena “dipaksa” oleh Bu Gubernur. Eti, nama anak Bu Gubernur itu, yang mendapat tepuk tangan bergemuruh saat tampil di sebuah pertunjukan. Bukan, bukan karena suaranya yang bagus. Tapi karena ia adalah anak seorang gubernur.
Cerpen Lea Pamungkas berjudul Mbok Nah 60 Tahun juga cukup menggelitik. Sebuah kritik sosial, yang acapkali menimpa sebuah keluarga. Mbok Nah yang berjualan jamu kuat yang laris manis itu, membuatkan jamu untuk seorang banci yang tinggal di rumahnya dan main serong dengan suaminya. Masih tentang sebuah keluarga, adalah cerpen Putu Wijaya berjudul Pernikahan, dialog suami-istri tentang hakikat pernikahan. Percintaan, kata si tokoh suami, tidak seru kalau tidak dimulai dengan takaran emosi yang sama.
Cerpen kedua Jujur Prananto dalam buku ini, berjudul Bantuan, tentang kelahiran seorang adik yang dibantu biaya oleh kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga. Konfliknya sederhana, tapi ending, meski biasa, cukup tak terduga. Terakhir, saya ingin membahas cerpen Ahmad Tohari, Warung “Penajem”. Tentang istri Kartawi yang membuka warung. Dan supaya laris, ia pergi ke orang pintar. Tapi “penajem” yang diminta, rupanya adalah kehormatan Jum, istri Kartawi itu. Kartawi marah bukan main, meninggalkan Jum. Untuk kemudian kembali lagi, setelah berpikir, bahwa warung yang makan “penajem” itu bisa membuat keluarganya wareg, anget, rapet.
Secara keseluruhan, 17 cerpen dalam buku ini, sekali lagi tidak ada yang sampai membuat saya berdecak kagum. Meski selain ada nama Kuntowijoyo dan Umar Kayam, ada pula Yanusa Nugroho, Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari dan Putu Wijaya.
Rafif, 14 September 2015. 21.50 wib
Review Laki-Laki yang Kawin Dengan Peri (Cerpen Pilihan Kompas 1995). Kompas, C2,2002. 162 halaman. Karya Kuntowijoyo dkk
0 Response to "Laki-Laki yang Kawin dengan Peri"
Posting Komentar