Literasi yang Menyenangkan
Saya
diundang sebuah LSM yang bergiat di bidang pendidikan untuk membicangkan
literasi. Saya lihat ada banyak sekali tokoh yang hadir. Mulai dari mahasiswa,
pegiat literasi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, penggerak GLS, hingga
pemilik TBM dan aktivis komunitas seperti saya.
Tetapi saya
kecewa hadir di acara berdurasi 120 menit itu. Semuanya seakan membicarakan hal
yang tak jelas dan absurd tentang literasi. Ada yang menonjolkan statistik, ada
yang saya dengar berkali-kali menyebut predikat “kota literasi”, ada yang
ngalor ngidul entah membicarakan literasi yang mana dan untuk apa.
Namun
demikian, saya berusaha mendengarkan sambil menahan kantuk. Hingga tibalah
seseorang di dekat saya yang bicara berapi-api. Ia memperkenalkan diri sebagai
pemerhati pendidikan. Banyak pandangannya yang kurang populer. Saya tak ingin
menyampaikan semua. Hanya satu yang coba saya kupas. Dia bilang, “Tak penting
statistic-statistik itu. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menumbuhkan
atmosfir membaca pada masyarakat.”
Nah, itu
dia yang saya cari. Sayang diskusi tak berlanjut. Padahal itulah sejatinya yang
saya tunggu-tunggu. Mereka berlomba-lomba menyuguhkan realita gerakan membaca
15 menit sebelum pelajaran dimulai, membuat resume, dan lain-lain. Tapi coba
tanyakan pada siswa, apakah mereka menyukainya? Atau melakukannya karena
terpaksa, karena tugas?
Saya tidak
tahu, bagaimana dampak dari anak-anak yang dipaksa membaca. Suatu saat mungkin
ia sampai pada tahap menganggap membaca itu momok yang menakutkan, membaca itu
mengekang, membaca itu menjengkelkan. Dan terbebas dari buku adalah sesuatu
yang menyenangkan!
Kalau itu
yang terjadi, ini bukan gerakan menumbuhkan minat literasi, justru sedang
berlangsung pembunuhan minat literasi. Maaf, kalau kesannya terlalu berlebihan.
Tetapi ini yang saya khawatirkan.
Yang
pertama harus dibangun, untuk sebuah gerakan literasi adalah, menjadikan mereka
dekat dengan buku. Jadikan yang paling sering mereka lihat di sekolah adalah
bahan bacaan. Sesekali ada kegiatan menarik di perpustakaan. Buatkan rak-rak
berisi buku di setiap kelas. Biasakan guru membaca buku sambil menunggu dan
mengawasi siswanya mengerjakan tugas. Buat mereka akrab dengan buku.
Peranan
guru sangat penting di sini. Bagaimana mungkin murid akan senang membaca,
sementara guru justru menjauh dari buku. Ini seperti melatih seseorang berenang
sementara ia sendiri tak mau mencemplung ke dalam kolam.
Di acara
yang sekadar diskusi tanpa kesimpulan itu, saya hanya diam, menyimak dengan
baik. Pemerhati pendidikan yang sedang bicara itu mulai mengkritik tugas resume
buat siswa. Menurutnya, siswa diajarkan membaca tidak sampai tuntas. Karena 15
menit langsung membuat resume. “Gak mungkin 15 menit langsung selesai satu
buku,” katanya. Ah, ia mungkin sedang
bicara tentang dirinya sendiri. Kenyataannya 15 menit bisa saja seseorang
mengkhatamkan satu buku. Tergantung buku apa yang ia baca dan seberapa
kecepatan membacanya.
Lalu muncul
pertanyaan di benak saya, yang tak sempat saya ungkapkan. Benarkah yang hadir
di ruangan itu, yang bicara hingga berbusa-busa itu, telah benar-benar
menjadikan aktivitas literasi sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya?
Saya kok gak yakin. Bahkan kepala dinas perpustakaan yang hadir di situ
mengatakan, “Dulu saya suka menulis.” Oh my God. Dulu. Dulu ketika ia masih
menjadi mahasiswa. Berarti sekarang tidak lagi.
Jika
kesadaran untuk menjadikan literasi sebagai aktivitas yang menyenangkan saja
tidak dimiliki, bagaimana mungkin bisa berkampanye kemana-mana agar orang tertarik
dengan literasi? Lucu sekali.
Ini kurang
lebih sama dengan orang yang mengajak orang lain agar menyukai soto, sementara
ia sendiri jarang makan soto bahkan tidak menyukai soto. Kan kebangetan? [rafif]
gambar: nusantaranews.co
0 Response to "Literasi yang Menyenangkan"
Posting Komentar