Ruang dan Momentum Kontemplasi
Dunia ini
terlalu hiruk-pikuk, terlalu berisik. Sehingga seolah tak menyisakan ruang
untuk kontemplasi. Apa yang terlintas di pikiran segera dikonversi menjadi
tindakan. Instan. Tak ada perenungan panjang dan mendalam.
Yang
terlahir akhirnya, seperti buih di lautan. Banyak tapi tak memberi manfaat.
Mudah rusak, mudah goyah diterpa badai, mudah diceraiberaikan.
Kita perlu
belajar dari para penyair, bagaimana mereka memilih satu kata hingga berhari
bahkan berbulan lamanya. Mereka memastikan tak ada yang sia-sia, bahkan hingga
tanda titik dan koma. Mereka berkontemplasi, menikmati sunyi, membedah semesta
pikiran yang pada mulanya berupa keliaran kecil dengan pisau sepi.
“Kebersihan
hati. Kejernihan nurani,” kata D Zawawi Imron. Itu bekal berikutnya, agar
kata-kata hidup, memiliki tenaga. Puisi dapat menggerakkan, bisa mengubah,
hanya jika ditulis oleh jiwa-jiwa bening. Mereka yang telah ditempa menjadi
manusia budaya, dengan tingkat kepekaan sosial yang luar biasa.
Para penyair
melahirkan karya-karya terbaiknya dalam bilik-bilik sunyi. Kontemplasi
terus-menerus. Berdialog dengan kesendirian. Memaknai setiap titik di udara. Ia
berpikir hingga pada satu simpul yang tak dapat dijangkau oleh manusia biasa.
Ia menemukan kesejatian dan hakikat dari setiap benda dan peristiwa.
Maka tak
heran, penjara seringkali menjadi lahirnya karya-karya agung yang menyejarah.
Tafsir Al Azhar, Tafsir Fii Zhilalil Quran, La Tahzan hanyalah segelintir
contoh bagaimana penjara menjadi ruang kontemplasi bagi para penulis yang
memiliki kesucian jiwa.
Tak hanya
tempat, beberapa momentum seringkali menjadi jeda panjang untuk perenungan.
Habiburrahman El-Shirazy melahirkan Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal saat
terbaring tak berdaya karena sakit. Demikian pula Pipiet Senja produktif
menghasilkan karya meski menderita Thalassemia.
Saya tak
hendak mengatakan bahwa untuk berkontemplasi berarti harus terlebih dahulu
masuk penjara atau sakit parah. Sesungguhnya ruang dan momentum itu bisa kita
ciptakan, bisa kita buat. Ketika kita ingin berpikir tentang kematian misalnya,
kita bisa mematikan lampu, memutar musik atau lagu yang sesuai, kita bisa
datang ke rumah sakit menjenguk teman atau kerabat, melihat orang-orang yang
sedang sekarat, ziarah ke kuburan.
Kita biasakan,
meluangkan waktu untuk merenung, berkontemplasi, agar setiap yang keluar dari
dalam diri kita baik verbal maupun tindakan meninggalkan kesan kebaikan yang
mendalam. Lebih dari itu, menginspirasi, menggerakkan.[Rafif]
sumber gambar: kanglondo.wordpress.com
0 Response to "Ruang dan Momentum Kontemplasi"
Posting Komentar