Matinya Para (Calon) Penulis Muda
Kematian
yang saya maksud bukan kematian sesungguhnya, melainkan matinya semangat, yang
berujung pada hilangnya ia dari gelanggang penulis.
Cita-citanya
untuk menjadi penulis hebat, ia kubur dalam-dalam. Tak ada lagi, meski sekadar
keinginan. Ibarat bunga, ia layu sebelum terkembang.
Penyebabnya
bisa bermacam-macam. Mulai dari putus asa karena karyanya berkali-kali ditolak
media, terseret kasus plagiarisme, hingga tumbang karena dikritik.
Kasus
terakhir ini pernah saya temui sendiri. Seorang anak muda yang produktif,
dengan gagah minta karyanya dikritik. Ia sodorkan pada saya lewat media sosial.
Melihat kesungguhannya, dengan sukarela saya hadiahkan kritik. Dan sebagai
kritikus, saya tidak pernah setengah-setengah. Jika jelek saya katakan jelek,
lengkap dengan argumentasinya. Saya blak-blakan, pedas, jika didengar langsung
mungkin membuat kuping panas.
Ketika saya
serahkan hasil kritik saya itu, ia tak mengucap sepatah kata pun. Beberapa hari
kemudian, saya lihat akun media sosialnya sudah tidak aktif. Berikutnya tersiar
kabar kalau dia sudah tidak menulis lagi.
Saya tidak
pernah menyesali kejadian itu. Karena saya yakin ia tidak cocok menjadi
penulis. Andai bukan karena kritikan saya, suatu saat pun ia akan tumbang dari
gelanggang penulis. Hanya soal waktu. Tetapi akan lebih menyakitkan jika
situasi itu ia alami saat telah menjadi penulis besar.
Berkali-kali
saya mengatakan, pertama kali yang harus disiapkan ketika memutuskan terjun
menjadi penulis, adalah kesiapan mental. Mental tahan banting. Karena menjadi
penulis bukanlah pilihan populer. Masyarakat mengira para penulis adalah
pengangguran. Lebih-lebih tidak ada pilihan “penulis” ketika mengisi kolom
pekerjaan. Bahkan di KTP pun tak ada yang berani mencantumkan.
Itu baru sekadar
menyandang gelar “penulis”, belum lagi bagaimana proses kreatif yang tidak
mudah. Penuh tantangan. Penuh goncangan. Sekaliber penulis professional saja
kadang sempat terpikir untuk berhenti menulis. Karena memang jalannya yang tak
mudah. Menurun dan mendaki. Pasang dan surut.
Lalu,
setelah karyanya lahir. Yang melewati proses berdarah-darah. Dengan segala
jerih payah. Yang kemudian ia anggap karya paling “wah” ternyata tak mendapat
sambutan sesuai harapan. Karyanya itu dikritik habis-habisan, dicemooh, bahkan
dianggap sampah. Kira-kira, bagi penulis yang mentalnya lemah, apa yang akan
terjadi?
Sekali
lagi, ibarat bunga, ia akan layu sebelum terkembang. Inginnya menebar wangi dan
kelopak-kelopak indahnya, tetapi justru kuncupnya gugur ke tanah. Habis sudah.
Ia bahkan tak bisa mempertahankan dirinya dari gempuran panas dan hujan. Badai
menerbangkannya menjadi sesuatu yang bukan siapa-siapa.[rafif]
sumber gambar: nawe.co.uk
0 Response to "Matinya Para (Calon) Penulis Muda"
Posting Komentar