Kisah Para Pencuri Buku
Cerita
paling populer tentang pencurian buku barangkali yang dialami Si “Binatang
Jalan”, Chairil Anwar. Kisah ini sering kita dengar. Bagaimana Chairil Anwar
muda bersama sahabatnya merencanakan pencurian di sebuah toko buku. Buku yang
diincar adalah karangan Nietzsche berjudul “Sabda Zarathustra”.
Chairil
yang memakai celana komprang dengan kantong besar tak mengalami kesulitan dalam
melancarkan aksinya. Ia berhasil. Namun ternyata Chairil salah ambil. Yang
dikantonginya adalah Kitab Injil. Kebetulan keduanya sama-sama ada di rak buku
agama.
Kisah
Chairil ini ternyata mengilhami seorang pemuda lain di generasi yang lain.
Sebut saja namanya Ahmad. Saat masuk ruang dosen, ia melihat sebuah buku karya
Sun Yat Sen berjudul “San Min Chui”. Ia berpikir, buku antik terbitan tahun
1925 itu pasti keren. Lalu ia teringat Chairil. “Saya ingin meniru Chairil.
Seperti apa rasanya,” ungkapnya. Awalnya ia takut, tapi nama besar Sun Yat Sen
membuatnya berani.
Apakah
melulu kasus pencurian buku disebabkan pelakunya haus ilmu? Atau dengan kata
lain, ia adalah pembaca buku yang hebat seperti Chairil? Tidak juga. Seorang
mahasiswa di Bandung, mencuri banyak buku anak dan komik karena tujuan ekonomi.
Ia mengaku buku-buku yang ia kumpulkan dari hasil mencuri senilai 1,5 juta.
Saya juga
pernah menjumpai dua pencuri di waktu dan tempat berbeda karena motif yang
sama. Pertama, di sebuah perpustakaan kampus saat saya masih kuliah. Pencuri
buku itu babak belur dihakimi security. Ia bekerjasama dengan rekannya,
mengambil buku di rak perpustakaan dan melemparkannya lewat jendela. Sementara
temannya sudah bersiaga menangkap hasil “buruannya”.
Kasus kedua
saya temui di sebuah toko buku di Surabaya. Kasir memarahi laki-laki yang konon
tinggal di Pondok Pesantren itu habis-habisan. Ternyata, ia mencuri untuk
menjual kembali buku-buku itu. Bukan untuk koleksi pribadi. Buku-buku yang ia
incar, memang buku-buku mahal sehingga ketika dijual ulang dengan harga lebih
rendah pun, uang yang diperoleh masih lumayan.
Di toko
buku saya sendiri, seringkali beberapa buku sering raib dari rak. Saya tidak
tahu siapa yang mengambil. Di data saya, judul-judul buku tersebut masih
tersedia. Namun ketika saya cek, buku tersebut sudah tidak ada. Barangkali ada
yang mencuri, entah apa motifnya.
Kisah-kisah
pencurian buku seperti itu, tidak hanya terjadi di Indonesia. Cerita dari
Amerika Serikat lebih dahsyat. Sebut saja Stephen Cane
Blumberg, yang ditangkap polisi karena mencuri 23.600 judul buku dari 268
perpustakaan yang tersebar di 45 negara bagian. Total buku-buku yang dicurinya
itu seharga 20 juta dolar atau kurang lebih setara dengan 260 milyar rupiah. Ia
dihukum kurungan 5 tahun 8 bulan karena
kejahatannya.
Di Inggris,
tak kalah gila. William Jacques mencuri 500 buku langka dari Cambridge Library,
London Library, dan British Library selama rentang 1996 hingga 1999. Ia menjual
buku-buku itu di rumah lelang dan meraup ratusan ribu poundsterling.
Perpustakaan
Kota Malang, konon kehilangan hingga 4.725 buku dalam beberapa tahun baik yang
dipinjam tak kembali atau mungkin juga dicuri.
Namun kasus
pencurian buku memang tak terlalu ngehits. Di Indonesia, jarang sekali yang
sampai heboh dan dilaporkan polisi. Mungkin karena buku dianggap barang yang
tak terlalu bernilai. Beda dengan emas, gawai, atau kendaraan bermotor yang
kalau hilang direspon dengan cukup menggemparkan.
Ini membuat
seringkali penjagaan terhadap buku-buku yang sedang dipajang, baik untuk dijual
atau dipinjamkan tidak terlalu ketat. Pengunjung bisa dengan mudah
berseliweran. Di toko-toko buku besar hingga di lapak-lapak buku bekas, saya
lihat penjagaannya ala kadarnya. Andai saya punya niat jahat, tentu sangat
mudah bagi saya untuk memasukkan buku tersebut ke dalam tas dan setelahnya,
langsung ngeloyor pergi.
Padahal,
kalau kita tahu. Buku-buku langka harganya ada yang melebihi harga emas. Satu
eksemplarnya bisa jutaan. Meski memang, cara menjualnya butuh seni tingkat
tinggi. Tak seperti emas, yang harganya relatif stabil dijual di mana pun.
Beberapa
pencuri buku beralasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi “menyelamatkan
buku”. Mereka berdalih, daripada buku tersebut tidak dibaca dan berdebu. Jadi
seolah-olah misi pencurian mereka adalah jasa besar bagi dunia literasi dan itu
membuat mereka layak menyandang gelar “pahlawan literasi”.
Wah,wah,wah!
Referensi:
Kaskus.co.id
(29/6/2013)
Qureta.com
(5/9/2016)
sumber gambar: gutenberg.rocks
Ternyata ada ya kasus penurian buku sampai bernilai tinggi seperti itu.
BalasHapusDan tentu dengan berbagai motif, tapi semoga saja orang-orang yang membaca buku tersebut bisa memperoleh inspirasinya tersendiri.
Apapun motifnya yang namanya pencurian tetaplah pencurian
BalasHapusAlasan macam apa itu... 😁
BalasHapusWah baru tahu ada yang spesialisasi pencuri buku hihi kalau buku langka memang mahal ya tapi buku perpustakaan? Ada-ada aja ya
BalasHapusBuset dah sampe ribuan buku diambil.
BalasHapusItu ga ada tindakan apa. Kok bisa gak dikembalikan . Banyak juga yang hilang
BalasHapus