Telaga Kejujuran
Saya
termasuk yang paling keras mendidik anak tentang kejujuran. Sekali ketahuan
bohong, saya akan memarahinya habis-habisan. Maaf, bagi sebagian orang cara
saya mungkin kelewatan. Tapi ini saya lakukan karena saya menyadari bahwa kejujuran
harus ditanamkan sejak dini. Saya kira kejujuran adalah salah satu pendidikan
paling mahal bagi generasi mendatang. Kejujuran adalah modal bagi tegaknya
nilai-nilai kebaikan yang lain.
Sekali
berdusta, dua kali, tiga kali, kemudian menjadi kebiasaan. Lalu diikuti dengan
ketidakjujuran dalam perbuatan. Menjadi karakter, menjadi akhlak. Saya jamin
akan rusak seluruh pribadinya. Ia akan terbiasa menjadi manusia hipokrit,
menjadi munafik. Naudzubillah.
Terkadang
bagi anak, memang sulit untuk jujur ketika terjebak antara keinginan dan
ketakutannya. Ia berdusta agar terbebas dari hukuman sekaligus mendapatkan
keinginannya. Karenanya, katakanlah pada anak kita, bahwa kejujuran kadangkala
memang pahit diucapkan namun ia menenangkan. Hukuman atas kesalahan tetap harus
diberikan, tapi katakan bahwa itu hanya sebentar agar ia tersadar dan tidak
mengulanginya lagi.
Setiap
kesalahan niscaya memiliki konsekwensi, tapi ia masih bisa diperbaiki. Langkah
pertamanya, adalah jujur terhadap diri sendiri. Lalu sampaikan dengan penuh
penyesalan, dengan terus terang pada orang yang kita zhalimi. Mintalah maaf.
Sebagaimana kisah seorang pemuda bernama Idris, yang dalam petualangannya
mencari ilmu menemukan sebuah delim terkatung-katung di atas sungai. Terdorong
haus dan lapar, tanpa piker panjang ia memakannya.
Saat
kunyahan pertama, ia tersadar telah memakanan sesuatu yang tak halal baginya.
Maka segera ia beristighfar, lalu mencari pemilik pohon delima di sekitar
sungai. Ia harus melaluinya dengan penuh perjuangan. Menyusuri sungai, terantuk
batu, terseok, dan jatuh berkali-kali. Sampai akhirnya, ia berhasil bertemu
dengan pemilik pohon itu.
Malang nian
bagi Idris, karena kejujurannya itu ia harus menanggung hukuman dari pemilik,
dengan menjadi tukang kebun. Idris menyanggupi dan melakukan pekerjaan dengan
baik selama bertahun-tahun. Hingga kemudian tibalah saatnya ia berpamitan.
Tetapi pemilik pohon delima tak melepasnya begitu saja. Satu syarat lagi yang
harus ia lakukan agar bisa pergi, yaitu mau menikahi putri pemilik delima yang
buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Mendengar
itu, bagi Idris terasa sangat berat. Tapi ia rela, ia ikhlas, jika untuk
menebus dosanya harus melalui itu semua. Ia menerima permintaan pemilik pohon
delima.
Ketika
waktu pernikahan tiba, betapa terkejutnya hati Idris melihat calon istrinya
cantik jelita bak bidadari. Rupanya yang dimaksud buta, tuli, bisu, dan lumpuh
itu bahwa perempuan calon istrinya tak pernah melakukan, melihat, mengatakan,
dan mendengar yang dilarang oleh Allah.
Maha Suci
Allah, pernikahan keduanya membuahkan keturunan, seorang lelaki yang menjadi
ulama besar, mujtahid, sekaligus satu dari 4 imam mazhab. Beliaulah, Muhammad
bin Idris Asy Syafi’I atau yang biasa kita kenal dengan Imam Syafi’i.
Maka tak
salah kiranya, jika saya menyebut kejujuran sebagai telaga. Ia tidak hanya
menenangkan dan menyejukkan, tetapi akan berbuah indah pada akhirnya.[rafif]
sumber gambar: pojokpitu.com
0 Response to "Telaga Kejujuran"
Posting Komentar