Literasi Politik ala Satria Dharma
Benar,
judul buku ini The Spring Time of
Literacy. Tetapi tak sepenuhnya bicara tentang literasi. Penulisnya, Satria
Dharma, meliuk-liuk dan kadang nyrempet
isu-isu sensitif. Tak sedikit pula yang menyinggung soal politik. Oleh
karenanya, saya beri judul review ini dengan Literasi Politik ala Satria Dharma.
Kita lihat
perjalanan buku ini dari awal. The Spring
Time of Literacy adalah kumpulan catatan Satria Dharma sebagai seorang
pegiat literasi. Tidak hanya buah pikirannya, berbagai pengalaman menghadiri
acara literasi juga dituangkan, termasuk jadwal kegiatannya yang padat demi
mengkampanyekan kegiatan literasi. Ini bisa dibaca pada bagian 1 dan bagian 2
yang bertajuk Literasi dan Buku.
Dalam
catatan berjudul SARA? Penulis
menyampaikan dengan terbuka bahwa umat Islam harus tahu tentang pentingnya
membaca. Saya setuju. Sangat setuju. Ini juga yang dalam banyak kesempatan saya
sampaikan kepada teman-teman. Seharusnya, umat Islam menjadikan aktivitas
membaca sebagai aktivitas wajib harian, di luar menjalankan kewajiban shalat
lima waktu. Jika umat Islam tidak membaca, bagaimana ia bisa mengetahui
keagungan dien-Nya? Bagaimana ia bisa
menyingkap rahasia-rahasia dan hikmah yang dikaruniakan Tuhan kepadanya?
Saya salut
dan angkat topi pada penulis ketika ia bicara tentang literasi. Wawasannya
luas, pengalamannya segudang, jam terbangnya mungkin sudah ribuan. Maka
layaklah ia disebut aktivis literasi. Opini-opininya keren dan menginspirasi. Seperti
di halaman 162, ketika ia berpendapat sudah selayaknya pemerintah Indonesia
meniru Venezuela yang membagi-bagikan jutaan buku gratis tiap tahun untuk
masyarakat kurang mampu. Saya setuju. Bahkan saya berhasil mengembangkan idenya
ini menjadi sebuah program dan langkah kongkrit yang dapat ditempuh.
Tetapi
perjalanan The Spring Time of Literacy
belum sampai di sini. Entah karena genit atau hanya ingin agar buku ini semakin
tebal, Satria Dharma memasukkan catatan-catatannya tentang politik. Di halaman
185, saya terhenti. Satria menulis: Adalah
sangat aneh dan tidak masuk akal jika kita mengaku sebagai umat Tuhan yang taat
tapi tidak mau menerima keputusan yang telah ditetapkan oleh Tuhan bagi kita.
Saya tidak percaya pada umat yang demikian. Jika Anda masih saja menolak
kepemimpinan Jokowi, sebenarnya Anda sedang mendemonstrasikan pembangkangan
Anda pada takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Apapun dalih Anda.
Sejak
membaca beberapa kalimat itu, respek saya pada penulis mulai goyah. Cukup
tulisan itu menerangkan bagaimana keberpihakan politiknya, dan untuk meyakinkan
dirinya sendiri serta mungkin pembaca setianya, ia mengatakan bahwa mereka yang
tidak terima atas terpilihnya Jokowi sebagai para pembangkang Tuhan. Luar
biasa. Saya berikan analogi sederhana saja. Jika ada orang yang dijarah harta
dan kehormatannya, bukankah itu juga takdir yang ditetapkan Tuhan? Lalu apakah
mereka tak boleh menuntut, membawanya ke ranah hukum dengan alasan mereka harus
nrimo? Satria mungkin tidak sedang
menggunakan kecerdasan berpikirnya saat menuliskan itu.
Kekonyolan
itu bertambah, saat ia dengan ketidakjelasannya membuat bagian khusus yang
diberi judul Serba-Serbi Demo Ahok.
Lebih tepatnya mungkin, catatan galaunya karena idolanya diprotes oleh jutaan
orang. Ia mulai dengan catatan yang menunjukkan ketakpahamannya atas aksi 411
dan 212. “Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi bernegara,” tulisnya. “Jadi
jangan kaitkan dengan urusan membela agama Allah ya!” (Hal.270). Saya tidak
tahu harus tertawa atau menangis atas pernyataannya ini. Aktivitis literasi yang
saya yakin kurang banyak membaca buku-buku Islam dan sejarah Islam.
Nyinyirnya
tak selesai sampai di situ. Satria Dharma terang-terangan menyanjung Ahok.
“Saya terpaksa harus mengakui kehebatan Ahok,” katanya. Menurutnya, Ahok hebat
luar biasa karena bisa menggerakkan umat Islam untuk bersujud di Istiqlal.
Kemudian ia mengatakan, mengapa harus Ahok yang menggerakkan? Mengapa bukan
ulama? Nalarnya mulai amburadul. Dan saya sama sekali tak lagi menaruh respek
padanya.
Apalagi
ketika ia menulis secara khusus tentang pernyataan Ahok yang heboh itu. Dibohongi pakai surat Almaidah 51
menurut dia tidak salah. Menurutnya harus dibedakan dengan Dibohongi surat Almaidah 51. Mungkin ia harus belajar kembali
pelajaran bahasa Indonesia serta menggunakan nalar sehatnya. Inti dari keduanya
sama. Sama-sama mengatakan bahwa ayat Alquran yaitu Almaidah 51 berbohong.
Tidak hanya
soal politik. Buku ini memuat cacat dan borok penulisnya. Borok yang akut. Ia
berbicara politik dan agama seolah-olah paling paham. Bahkan saat menulis
tentang agama, ia berkali-kali mengatasnamakan Tuhan. Silakan lihat di halaman
195, ia mengatakan bahwa memori hapalannya sangat payah sehingga sulit untuk
menghafal Alquran. Lalu ia menuduh Tuhan sengaja membuatnya demikian. Padahal
Allah sendiri berfirman, “Dan sungguh telah kami mudahkan Alquran itu untuk
menghafalnya, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)
banyak hadis dan hasil penelitian pun menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran mudah
dihafal oleh orang yang merasa memori hapalannya paling lemah sekalipun.
Tetapi
Satria sembrono menyalahkan Tuhan
atas ketidakmampuannya sendiri. Seolah-olah dia sudah berusaha menghafal
Alquran dengan bersusah payah siang-malam.
Terakhir,
silakan lihat kekonyolan Satria Dharma yang lain. Di halaman 254, ia menulis,
“Kalau nonmuslim tak boleh jadi pemimpin apapun di Indonesia, insya Allah
Indonesia akan dilaknat Allah karena tidak mensyukuri nikmat kemerdekaan
sebagai negara demokrasi berlandaskan pancasila. Saya serius nih!”
Dengan pede
ia berani mengatakan: insya Allah,
Indonesia akan dilaknat Allah. Ia mengatasnamakan Tuhan untuk memenuhi syahwat
politiknya. Jika nonmuslim tidak boleh jadi pemimpin, maka Indonesia akan
dilaknat Allah, itu kata Satria Dharma. Kengawuran seperti ini mungkin ada
banyak lagi di catatan-catatan yang belum saya baca.
Jika ada
yang meminta saran saya dalam membaca buku The
Spring Time of Literacy ini, maka saya sarankan baca saja halaman pertama
hingga 145. Karena sisanya adalah racun. Jika Anda tetap ingin membaca, tidak
apa-apa. Tapi tolong siapkan penawarnya. [rafif]
Book Review
#104. Review The Spring Time of Literacy. Karya Satria Dharma. Penerbit Eureka Academia, Surabaya: Cetakan 1,2016. 299 halaman.
0 Response to "Literasi Politik ala Satria Dharma"
Posting Komentar