Abadilah Buku Cetak!
Jika saya
bertanya pada para pecinta buku di Indonesia, mana yang lebih disukai: buku
cetak atau buku digital? Saya yakin lebih banyak yang menjawab, buku cetak.
Sebagian
mereka beralasan bahwa membaca buku digital atau e-book membuat mata cepat
lelah. Ada yang berpendapat, “Buku cetak tak akan tergantikan. Menyentuh fisik
buku dengan hanya melihatnya lewat gawai jelas terasa sangat berbeda.” Benar.
Buku cetak melibatkan banyak indera kita. Mulai pertama kita menyentuhnya dengan
indera perasa, mencium aroma kertas yang khas, hingga membaca teks yang ada di
dalamnya.
Meski zaman
terus tumbuh dan dunia digital semakin menggila, saya yakin bahwa buku cetak
tetap akan eksis. Pendapat beberapa orang yang mengira bahwa buku cetak akan
habis seiring dengan tumbangnya banyak penirbit dan toko buku besar, saya kira
berlebihan. Yang terjadi bukan menurunnya preferensi terhadap buku cetak,
tetapi trenlah yang berubah.
Sejak
ditemukannya sistem cetak POD dan maraknya writerpreneurship di kalangan
penulis muda, tren berubah dari industri perbukuan yang sebelumnya dikuasai
oleh penerbit mayor ke penerbit indie. Banyak penulis yang memilih menerbitkan
bukunya sendiri dengan sejumlah alasan. Satu diantaranya minimnya royalty,
pelaporan yang tidak transparan, dan pajak yang terlalu mahal.
Dengan
perubahan tren yang terjadi ini, kendali distribusi dan pemasaran buku cetak
tidak lagi berada di tangan penerbit. Para penulis pun memasarkan buku-buku
karya mereka secara mandiri. Teman saya, yang juga anggota FLP Magetan, menjual
buku karyanya lewat instagram. Dalam dua bulan, ia mencatatkan penjualan yang
fantastis. Lebih dari 3000 eksemplar buku ludes!
Bukankah
itu bukti bahwa buku cetak tak akan pernah ditinggalkan?
Meski ebook
semakin mudah didapatkan bahkan gratis, toh masih banyak yang mencari versi
cetaknya. Keberadaan ebook seolah hanya sebagai pelengkap. Jika memnag butuh
cepat untuk referensi atau sekadar dibaca sepintas lalu. Tak jarang, ratusan
ebook diunduh hanya sebagai koleksi, tapi tak dibaca sama sekali.
Bukti
lainnya. Fenomena wattpad. Novel-novel yang ditulis berseri di wattpad masih
dicetak oleh penerbit. Menariknya, para pembaca yang sudah mengkhatamkan atau
mengikuti novel tersebut via wattpad, masih membeli versi cetaknya.
Kalau masih
kurang, saya berikan bukti lain. Karena memang saya adalah pelaku industri buku
cetak dari hulu ke hilir. Dari menulis, menerbitkan, hingga menjual. Pembeli
buku cetak di toko saya masih stabil, meski sempat mengalami penurunan di
sekitar tahun 2014-2015. Namun setelah saya evaluasi, sebenarnya bukan karena
berkurangnya pembeli, tetapi medianya yang berubah. Dulu saya banyak menjual di
facebook dan pembeli dari facebook sangat banyak. Ternyata sekarang, sebagian
sudah lebih senang bertransaksi di whatsaap, instagram, hingga
marketplace-marketplace yang menjamur.
Setelah
saya coba maksimalkan platform lainnya, penjualan mulai merangkak naik kembali.
Bahkan di salah satu marketplace, buku-buku yang saya tidak yakin akan laku,
ternyata ada yang membeli juga. Awalnya iseng, eh kok, ternyata pembelinya
lumayan. Padahal konten dari buku-buku tersebut bisa ditemukan secara gratis di
internet. Namun faktanya, mereka tetap membeli, yang terkadang ongkos kirimnya
berlipat kali dari harga buku yang dibeli.
Ini belum
lagi kalau kita bicara buku sebagai benda koleksi. Sebuah kebanggaan dan
kebahagiaan memiliki banyak buku dalam rak-rak yang berjajar menutupi dinding
rumah. Pemandangan yang mengesankan. Belum lagi kalau bicara buku cetak sebagai
investasi. Semuanya tak akan pernah dicapai oleh buku-buku digital. [rafif]
sumber gambar: goodreader.com
0 Response to "Abadilah Buku Cetak!"
Posting Komentar