Ironi Penulis Buku di Indonesia
Penulisan buku di Jepang tidak bertujuan
mencari uang tetapi mendapatkan pengakuan, memperoleh kehormatan, dan
menciptakan status sosial (Ignas Kleden)
Bagaimana
dengan Indonesia?
Barangkali
kebalikannya. Karena para penulis buku tidak mendapat pengakuan, tidak
memperoleh kehormatan, dan tidak memiliki status sosial, maka salah satu
tujuannya adalah mencari uang.
Meski
ketika dihitung-hitung lagi, sulit untuk jadi profesi. Royalty penulis buku di
Indonesia hanya sekitar 7-12% dari harga netto. Belum dipotong pajak. Dibayar
setiap 6 bulan sekali. Seorang penulis yang namanya sudah terkenal mengaku
hanya mendapat dua ratus ribu selama satu periode pembayaran. Miris bukan?
Jadi jika
semuanya, bahkan uang tak bisa didapatkan, wajar jika banyak orang tidak
tertarik untuk menjadi penulis. Mereka yang tetap menulis dengan royalti
pas-pasan tentu termasuk penulis nekad. Saya kira lebih hebat dari
penulis-penulis Jepang itu.
Ketika
ditanya, mereka menjawab, “Saya menulis untuk menginspirasi.” Ini lebih luar
biasa lagi. Tujuan yang begitu mulia. Sebab untuk menulis sebuah buku itu tidak
mudah. Mereka harus meluangkan waktu untuk menulis setiap hari. Butuh hitungan
minggu, bulan, hingga tahun sebelum mereka berhasil menyelesaikan satu buku.
Tidak hanya
waktu, mereka juga menginvestasikan sebagian hartanya untuk membeli buku, untuk
melakukan riset dan berselancar di internet, untuk beberapa gelas kopi, dan
lainnya. Belum lagi pikiran yang sangat menguras energi. Pendek kata, banyak
yang harus dikorbankan dan dikeluarkan untuk menghasilkan sebuah buku.
Jika
kemudian karya itu tak mendapat pengakuan, tak mendapatkan apresiasi, tak
berbuah materi, mungkin benar, motivasi untuk menginspirasi itulah yang membuat
para penulis buku bertahan. Melihat karyanya dibaca dan disukai banyak orang,
sudah menjadi kebahagiaan yang sangat besar. Seolah mentransfer energi, agar ia
menulis lagi.
Dunia
penulis di Indonesia adalah dunia yang sepi. Jauh dari hiruk pikuk dan gebyar
layaknya penyanyi. Penulis terasing dan diasingkan. Tetapi tanpa jasa para
penulis, bangsa ini akan sulit berkembang. Ali-alih menjadi mercusuar bagi
peradaban. [rafif]
sumber gambar: okezone.com
0 Response to "Ironi Penulis Buku di Indonesia"
Posting Komentar