Buku Rongsokan Vs Buku Loakan
Jika ada
yang bertanya pada saya, darimana saya memperoleh buku-buku yang membanjiri
lantai rumah, saya katakan sebagian besar dari rongsokan dan loakan.
Saya punya
jadwal rutin sepekan sekali berkunjung ke rongsokan. Bisa dibilang salah satu
rongsokan kelas kakap di Sidoarjo. Di sana sudah menunggu dengan setia, salah
seorang yang mengumpulkan buku-buku dan majalah untuk saya. Saya memanggilnya,
Bu Liha. Sementara dia memanggil saya, Pak Guru.
Seringkali
saya mendapatkan banyak buku bagus dari sana. Saya pernah dapat buku karya M
Natsir dan Umar Khayam, sehingga membuat saya melonjak gembira. Andai buku-buku
itu tidak saya ambil, ia akan masuk ke pabrik pengolahan kertas dan kembali
menjadi bubur. Oleh karena itu, saya menyebut apa yang saya lakukan sebagai
misi penyelamatan. Hehe. Dalam misi penyelamatan itu, suasana hati campur aduk.
Antara miris dan bahagia. Miris karena buku sebagus itu harus terlempar ke
rongsokan. Bahagia karena berhasil menyelamatkannya, untuk koleksi pribadi atau
dijual kembali dengan harga tinggi.
Tak jarang
saya membawa pulang beberapa karung dari tempat rongsokan langganan itu. Untuk
tiga karung berisi buku dan majalah saya hanya menebus dengan beberapa ratus
ribu rupiah saja. Saya membelinya dengan harga kiloan. Tak peduli itu bagus
atau buku jelek. Harga sama.
Berbeda
dengan ketika saya membeli di loakan. Ngitungnya tentu tidak lagi per kilo,
melainkan per buku. Untuk tiga karung yang sama, saya menghabiskan uang 4
hingga 5 kali lipat dibandingkan saya membeli di rongsokan.
Kalau
begitu, mending beli di rongsokan terus?
Tidak juga.
Buku-buku di rongsokan tentu tak banyak yang berkualitas. Untung-untungan saja.
Karena
harganya yang murah, standar buku yang saya pilih untuk diangkut juga relatif
lebih rendah.
Maksudnya begini. Ketika di loakan, saya benar-benar selektif
memilih buku. Saya hanya ambil buku-buku yang punya nilai jual tinggi atau
untuk koleksi pribadi. Karena di sana ada banyak buku dan harganya dihitung
untuk setiap eksemplar. Jadi saya harus berhitung, ketika saya beli buku itu,
saya bisa jual lagi dengan harga lebih tinggi, sehingga saya mendapatkan
keuntungan.
Sebaliknya,
di rongsokan, buku-buku bagus cukup jarang. Namun karena harganya yang murah,
buku-buku yang biasanya tidak saya ambil ketika di loakan, saya angkut juga.
Termasuk buku-buku pelajaran atau buku-buku bacaan yang kalau dijual sulit
laku. Kadang buku-buku yang tidak ada sampulnya atau dalam kondisi rusak parah
saya ambil juga.
Jadi, untuk
terus menambah stok buku berkualitas, saya tetap perlu belanja buku di loakan.
Frekuensinya tidak mesti. Kadang sebulan sekali, kadang bisa tiap minggu, atau dua
bulan sekali. Kalau pas kalap dan melihat ada banyak buku bagus, semakin sering
saya pergi ke loakan. Hanya saja efeknya di dompet dan buku tabungan kurang
menyenangkan. Ludes dalam sekejap.
Jujur,
andai saya punya banyak uang dan ada kendaraan yang memadai, saya akan pergi ke
loakan tiap hari. Membongkar tumpukan buku di setiap kios yang ada di sana.
Memborong semua buku bagus. Sementara ke rongsokan, tetap satu pekan sekali.
Mengingat tak mesti buku-buku bagus tersedia. Bahkan kadang dalam sepekan,
hampir tidak ada buku sama sekali. Hanya majalah-majalah bekas yang
mendominasi.
Tapi itu,
kalau cuma satu tempat rongsokan yang saya datangi. Kalau ada 7 tempat
rongsokan, ya bisa tiap hari.
Lalu
bagaimana membagi waktunya, jika ke rongsokan tiap hari dan ke loakan juga tiap
hari? Ah, itu dipikir nanti.[rafif]
sumber gambar: detik.com
0 Response to "Buku Rongsokan Vs Buku Loakan "
Posting Komentar