Dari Catatan Harian Menjadi Buku Fenomenal
Ketika
mengajar kelas menulis, saya selalu meminta murid saya untuk menyediakan buku
harian. Buku harian itu boleh diisi tulisan apapun. Bisa puisi, bisa cerpen,
bisa curhatan, atau sekadar coretan-coretan singkat menjelang tidur. Saya
meminta mereka untuk berusaha mengisinya setiap hari. Semakin rutin semakin
baik.
Lalu,
sebelum kelas menulis pekanan dimulai, mereka boleh mengumpulkan buku hariannya
itu. jika ada lembar-lembar yang sifatnya rahasia, mereka boleh menandainya,
dan saya tidak akan membaca. Saya akan menilai berdasarkan kualitas tulisan
mereka dan seberapa intens mereka menulis. Ada tanda khusus bagi buku harian terbaik
pekan itu. Jika lima kali mereka mendapatkan tanda khusus, mereka berhak sebuah
hadiah spesial dari saya.
Tetapi,
lazimnya setiap rutinitas, mereka hanya bersemangat di awal. Semakin lama,
tumpukan buku harian di atas meja semakin berkurang. Hingga suatu saat, tak
lagi ditemukan, tak ada lagi yang mengumpulkan.
Mungkin
Anda pun mengalami hal serupa. Dulu, dulu sekali, pernah menulis buku harian.
Dan sekarang tidak lagi. Ada yang bertahan hingga bertahun-tahun, ada yang
hitungan bulan, tapi ada pula yang hanya menghitung hari. Buku harian itu pun
tak diketahui lagi keberadannya.
Atau bagi
Anda yang menulis catatan harian di blog, ketika dicek lagi, tulisan terakhir
sudah hampir setahun yang lalu. Atau yang rutin menulis di Microsoft word
maupun software diary, lihatlah kapan terakhir kali Anda mengisinya.
Padahal,
catatan harian adalah cara terbaik untuk berlatih menulis. Agar konsisten
menulis. Setiap hari pasti ada yang bisa diceritakan. Kalaupun bukan pengalaman
pribadi, bisa dari cerita orang lain, bisa dari buku-buku yang dibaca, bisa
dari perasaan yang dialami saat melihat berita atau tragedy di televisi.
Seiring, dengan semakin sering menulis catatan harian, kita akan semakin
terlatih merangkai kata-kata, semakin pandai dalam mengungkapkan gagasan, dan
semakin baik dalam mencurahkan perasaan. Selain juga bisa menjadi obat dan
katarsis bagi segala kesedihan dan penderitaan.
Annelies
Marie Frank menulis catatan hariannya semasa holocaust di Jerman tahun 1943,
kemudian dibukukan dan menjadi fenomenal. The
Diary of Anne Frank diterbitkan dalam 50 bahasa dan mendapat respon dari
seluruh penjuru dunia. Dalam bukunya itu, Anne menceritakan seluruh
kesedihannya, seluruh ketakutannya, selama holocaust berlangsung. Ia merekam
semua kejadian yang ia lihat, yang ia dengar, yang ia rasakan lewat kata-kata
dalam buku hariannya. Ia mencatat bagaimana karakter-karakter kejam dan
temperamental orang-orang di sekitarnya.
Seperti
pula Anne, Zlata Filipovic, seorang bocah muslim berusia 10 tahun di Bosnia,
menulis buku harian tentang bagaimana perang berkecamuk di negaranya. Ia tulis
semua kemarahan, ketakutan, kepedihan yang dialaminya dengan energi yang
meledak-ledak. “Gara-gara mereka, kami harus mengucurkan air mata,” tulis
Zlata. Lewat buku hariannya, ia pun mencoba menghibur diri, berusaha tegar dan
menaklukkan semua kesedihan itu. Ketegaran Zlata menggugah hati seorang
wartawan bernama Christiane Rance, yang kemudian berusaha menerbitkan buku
harian itu sehingga seluruh dunia bisa membacanya.
Di
Indonesia, kita mengenal sosok Soe Hok Gie. Karyanya yang fenomenal dan bahkan
telah difilmkan itu juga berawal dari kumpulan catatan harian Gie;
renungan-renungannya tentang hidup dan kritik-kritiknya yang tajam terhadap
penguasa. Gie dan pemikiran-pemikirannya kemudian menjadi idola bagi
mahasiswa-mahasiswa pergerakan.
Anne,
Zlata, dan Gie mungkin tak pernah mengira bahwa catatan-catatan harian yang
mereka tulis suatu saat meledak dan menjadi fenomenal. Barangkali mereka
berpikir bahwa catatan-catatan kecil itu tak memiliki arti apa-apa, kecuali
sebagai sarana mengekspresikan seluruh yang berkecamuk di benak dan
perasaannya. Tetapi peristiwa-peristiwa yang mengiringi perjalanan buku harian
mereka adalah sejarah yang dahsyat, yang dicatat dengan berliter-liter tinta
dan dibincangkan dimana-mana.
Belajar
dari itulah, kita semarakkan kembali penulisan buku-buku harian. Kita rekam
semua momen bersejarah yang pernah terjadi di republik ini. Kita catat setiap
hal kecil yang kita alami. Betapa banyak sesuatu yang kecil itu, menjadi pemicu
peristiwa-peristiwa besar. Lewat catatan harian, kita bukan ingin menjadi
terkenal, tapi kita mengasah kepekaan, empati, dan kemanusiaan, untuk kita bagi
pada dunia. Agar mereka tahu, seseorang yang bukan siapa-siapa telah berjuang
dalam kesunyian, mengabarkan hal-hal yang tak terjangkau oleh lensa kamera
wartawan. [rafif]
sumber gambar: bukubercerita.com
0 Response to "Dari Catatan Harian Menjadi Buku Fenomenal "
Posting Komentar