Di Balik Harga Buku yang Melambung Tinggi
“Udara AC
asing di tubuhku. Mataku bingung melihat deretan buku-buku sastra dan buku-buku
tebal intelektual terkemuka. Tetapi harganya, o aku menganga… uang sepuluh ribu
di sakuku. Di sini hanya dapat 2 buku, untuk keluargaku cukup buat makan
seminggu.” (Wiji Thukul)
Perihal
mahalnya harga buku, bukan lagi menjadi cerita baru. Sejak dulu, harga buku
telah melambung tinggi. Tetapi mereka, orang-orang seperti Wiji Thukul, tetap
nekat membeli. Meski untuk itu, terkadang mereka harus menahan lapar
berhari-hari.
Teringat
pula, kisah Nassirun Purwokartun, yang rela berjalan kaki ke sekolah demi bisa
menabung, untuk membeli buku-buku. Namun demikian, sebagian ada yang tak tahan
dan mengambil jalan pintas: mencuri. Seperti Chairil Anwar dan Asrul Sani.
Mahalnya
harga buku tak jelas salah siapa. Penerbit dan distributor saling tuding.
Penerbit menyalahkan distributor yang meminta diskon hingga 60% dari harga
buku. Sementara distributor menuding penerbit telah semena-mena mematenkan
harga jual buku 5-7 kali lipat dari harga cetak.
Tetapi
penerbit memiliki sejumlah alasan. Harga tinggi itu, selain karena diskon besar
untuk distributor, juga untuk menutupi biaya operasional, belum lagi pajak dan
royalti penulis. Kalau tidak, bisa-bisa penerbit merugi. Distributor pun
beralibi, ia harus memberikan diskon menggiurkan untuk toko-toko buku agar
mereka tertarik. Toko-toko buku itu pun harus memberikan diskon lagi kepada
pembeli. Jadi, menurut distributor, untung mereka sebenarnya kecil, apalagi
jika dilihat faktor resiko seandainya buku-buku itu tidak laku.
Yang paling
diuntungkan, menurut saya, bukan keduanya. Melainkan toko buku besar mentereng
ber-AC, yang tak perlu saya sebut mereknya. Ia mengambil langsung dari penerbit
dengan rabat hingga 55% menggunakan sistem konsinyasi atau titip. Artinya,
mereka tidak membeli langsung dari penerbit. Melainkan penerbit menitipkan
bukunya untuk dijual, jika tidak laku dalam tempo waktu tertentu, maka
dikembalikan.
Mengapa
penerbit mau? Karena ia masih menjadi raja dalam bisnis buku di Indonesia. Branding-nya kuat. Pejualannya bagus,
dulu. Meski saya tak tahu, entah bagaimana nasibnya saat ini. Di tengah arus
digital dan e-commerce yang semakin
menggeliat.
Nah,
berbicara tentang e-commerce, terjadi
sejumlah tren baru dalam penjualan buku, yang seidkit banyak berpengaruh juga
terhadap harga buku. Selain melalui distributor, sebagian penerbit menggunakan
jalur pemasaran langsung lewat internet. Baik menggunakan website perusahaan,
marketplace, hingga media sosial. Mereka bisa memangkas harga besar-besaran.
Promo dan diskon bahkan bisa mencapai 50% dari harga buku, sama seperti diskon
yang diberikan pada distributor.
Tentu ini
membuat distributor cukup lesu yang juga berimbas pada toko buku-toko buku
kecil. Akhirnya, mereka terpaksa gulung tikar. Sebagian yang masih bertahan,
memindahkan fokus penjualan lewat daring, khususnya marketplace dan media
sosial.
Persaingan
harga antar penjual atau toko online mulai terasa. Berlomba diskon besar-besaran.
Buku-buku baru, kecuali yang best seller, menjadi cepat jatuh harganya di
pasaran. Meski untuk itu penerbit sudah menetapkan standar harga tertentu yang
dipasang di cover belakang buku, di bawah label ISBN. Harga buku tetap anjlok.
Apalagi ketika bersaing dengan buku-buku lama yang tak kalah bagus dan menarik,
dan dijual dengan harga obral!
Saat
buku-buku yang baru terbit begitu cepat dijual obral, yang menjadi korban
adalah, penulis. Sebaliknya, pembeli merasa senang.
Sulit
rasanya, memuaskan semua pelaku industri buku dari hulu ke hilir. Demikian
realita yang ada. Di era digital ini, rasanya lebih menguntungkan menjadi
penjual buku daripada penulis. Kecuali, penulis buku yang menerbitkan
buku-bukunya secara indie atau self
publishing.
Para
penulis indie bisa menjual langsung karya mereka melalui akun media sosial dan
mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Pembeli pun “terpaksa” harus
membeli online buku tersebut, lantaran tak akan menemukannya di toko buku
konvensional. Di sinilah rantai distribusi buku dari penerbit hingga toko buku
berhasil dipangkas besar-besaran.
Tetapi
mengapa harganya tetap mahal? Nah, inilah yang akan kita coba jawab. Mengapa
buku-buku indie tetap mahal? Sebenarnya ini adalah efek dari standar harga buku
yang ditetapkan oleh penerbit. Dengan ketebalan sekian, biasanya sebuah buku
dijual dengan harga sekian. Itu yang pertama.
Kedua, para
penulis indie atau self publishing, mencetak buku mereka dalam jumlah yang
sangat terbatas. Ini membuat biaya cetak per eksemplar juga mahal. Sehingga
wajar kalau harga jual juga ikut mahal. Semisal, sebuah buku yang normalnya
dicetak 2000 eksemplar oleh penerbit, dikenakan biaya cetak 10 ribu per
eksemplar, tetapi karena penulis indie hanya mencetak 10 eksemplar, biaya cetak
buku per eksemplar menjadi lebih dari 30 ribu.
Ketiga,
karena buku indie terbatas peredarannya maka menjadi ekslusif. Apalagi
seringkali penulis menjualnya sendiri, dan membubuhinya tanda tangan.
Namun
demikian, tidak semua buku yang diterbitkan indie memiliki harga jual mahal.
Ada yang kemudian memberi diskon besar-besaran. Sebagian penulis juga sering
mengadakan kuis berhadiah gratis buku terbarunya. Momentum ini yang harus dimanfaatkan
oleh pembaca.
Selain
kuis, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan para pecinta buku untuk
mendapatkan harga murah bahkan gratis. Insya Allah saya akan mengupasnya secara
khusus di lain kesempatan. [rafif]
sumber gambar: dream.co.id
0 Response to "Di Balik Harga Buku yang Melambung Tinggi "
Posting Komentar