Cerita di Balik Kepak Cahaya #2
Karena itulah, saya membuka lembar-lembar pertama Kepak Cahaya dengan sajak-sajak tentang kematian. Karena bagi saya, mengingat kematian adalah saat-saat paling intim kita bersama Tuhan.
Sekejap saja, beri daku kematian
Agar pohon-pohon kehidupan
Menjulang ke bibir langit
Dan jurang-bukit yang Kau torehkan
Di pelataran persinggahan
Jinak dalam pandangku
Agar pohon-pohon kehidupan
Menjulang ke bibir langit
Dan jurang-bukit yang Kau torehkan
Di pelataran persinggahan
Jinak dalam pandangku
Puisi-puisi dalam Kepak Cahaya lahir setelah melalui kontemplasi panjang, dalam kesunyian yang membuat saya terguncang. Malam yang meniupkan embun di kedua kelopak mata.
Beri aku kesempatan, Tuhan
Untuk kembali berjumpa dengan-Mu
dengan air mata
dengan harap dan takut yang semesta
Untuk kembali berjumpa dengan-Mu
dengan air mata
dengan harap dan takut yang semesta
Kematian selalu hadir di sana. Kematian yang lebih dekat dari urat nyawa.
Maka saya berharap, seperti dalam "Sajak Maut", karya ini mengantar saya lebih dekat pada Tuhan.
Aku menulis mati
Pada lembar sajak ini
Agar Tuhan berkenan
Mengutus Izrail
Mencabut nyawaku sekali
Saat kubaca sajakku berkali-kali
Pada lembar sajak ini
Agar Tuhan berkenan
Mengutus Izrail
Mencabut nyawaku sekali
Saat kubaca sajakku berkali-kali
Ponorogo, 31 Maret 2019
0 Response to "Cerita di Balik Kepak Cahaya #2"
Posting Komentar