Cerita di Balik Kepak Cahaya #3
Membandingkan kedua buku tersebut, tentu banyak perbedaan. Sejarah dan Kisah saya tulis saat masih kuliah, belum menikah. Sementara Kepak Cahaya saya tulis pasca menikah, bahkan sebagiannya saat saya telah resmi menyandang status sebagai "ayah".
Dua periode kehidupan yang berbeda, dengan kisah suka-duka berupa warna. Namun sebagaimana karya-karya saya yang lain, cinta tetap hadir di sana.
Di dalam Kepak Cahaya, bahkan saya buat bab khusus tentang cinta. Ada 42 sajak di dalamnya. Sebut saja dalam "Sepasang Kekasih":
seduhlah cinta yang hangat di bibirku
dengan secangkir telaga rindu
yang menggenang di dadamu
ia akan menjadi ramuan paling mujarab
yang mencairkan beku di pertemuan-pertemuan hening yang kita ciptakan
almanak yang menerbangkan kita ke negeri masing-masing
ke goa tersunyi tempat para pertapa memintal doa
dengan secangkir telaga rindu
yang menggenang di dadamu
ia akan menjadi ramuan paling mujarab
yang mencairkan beku di pertemuan-pertemuan hening yang kita ciptakan
almanak yang menerbangkan kita ke negeri masing-masing
ke goa tersunyi tempat para pertapa memintal doa
Cinta itu indah. Puisi itu indah. Maka jika keduanya bertemu, sempurnalah keindahan itu. Dalam puisi, cinta menemukan maqam-nya.
Bunga itu bernama seroja. Kupetik kuntumnya; hanya untukmu. Sebagai tanda kita telah mengikat cinta; bukan untuk sehidup semati, melainkan untuk menjadi abadi. Kau tersenyum. Aku tersenyum. Kita saling merangkai senyum menjadi untaian hidup, agar ketika kita tak lagi berdua, senyum bisa melukiskan bahagia
Sidoarjo, 1 April 2019
0 Response to "Cerita di Balik Kepak Cahaya #3"
Posting Komentar