Kekuatan Cerita Fiksi: Sosok Tokoh Berkarakter
Saat hendak menulis cerita,
beberapa pengarang sibuk memikir plot: bagaimana memulainya, konflik, klimaks,
hingga ending. Mereka kurang serius menggarap tokoh. Apa yang terjadi kemudian?
Karya mereka hambar. Seperti sayur tanpa garam.
"Tokoh lebih penting daripada
plot," kata Josip Novakovich. Ketika sosok tokoh telah benar-benar hidup
dengan karakternya yang kuat, plot akan mudah berkembang. Tetapi sebaliknya,
plot tak selalu bisa memunculkan tokoh. "Tokoh adalah plot," kata
pengarang The Great Gatsby, F. Scott
Fitzgerald.
Novel Merahnya Merah adalah salah satu contoh, ketika tokoh digarap
dengan baik, maka cerita akan benar-benar hidup di benak pembaca. Penulisnya,
Iwan Simatupang, tak peduli pada plot. Ia hanya fokus menceritakan tokoh dan
semua gejolak pikirannya. Ia hanya mempertemukan satu tokoh yang berkarakter
dengan tokoh lain yang juga berkarakter. Maka terciptalah peristiwa, hingga
kejutan-kejutan yang tak pernah diduga oleh pembaca. Twist dalam fiksi yang
seperti coklat yang lumer di lidah, terbentuk karena kesungguhan pengarang
menciptakan tokoh; tidak hanya masa kininya, tapi juga masa lalu, dan segala
sifat-sifat tersembunyi yang membuatnya seolah-olah nyata.
Cobalah simak paragraf pertama
novel Merahnya Merah:
Sebelum
revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir
revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap.
Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa. Membaca satu paragraf ini, saya
sudah menangkap aroma yang bakal disajika oleh novel ini: kesunyian, kengerian,
dan kegetiran hidup. Dari satu tokoh yang berkarakter, plot akan mengalir
dengan sendirinya.
Seperti apa tokoh yang berkarakter?
Bukan. Bukan tokoh dengan sifat-sifat malaikat. Bukan tokoh yang tanpa cacat.
"Saat menulis sebuah novel," kata Ernest Hemingway, "Pengarang
harus menciptakan orang yang nyata. 'Orang' dan bukan sifat. Sifat hanya
sekadar karikatur."
Berceritalah tentang sosok.
Sebagaimana sejarah dan peristiwa selalu bercerita tentang para pelakunya.
Sejarah tak mungkin tercipta tanpa tokoh. Para tokohlah yang menciptakan
sejarah. Cobalah baca cerpen Guy de Maupassant, The Necklace, ia hanya bercerita tentang Matilda Loisel. Seorang
yang serba biasa tapi menginginkan kehidupan mewah seperti wanita-wanita kaya
raya. Pertentangan antara impian tokoh dan realita kehidupannya, menciptakan
sebuah plot yang menarik.
Maupassant tak menggunakan
diksi-diksi kelas atas dalam cerpennya. Tak menggunakan metafor. Bahasanya
sederhana, mudah dipahami. Tapi karakter tokoh yang dibangunnya menciptakan
konflik, klimaks, sekaligus ending yang mengejutkan.
Cerpen saya yang berjudul Lelaki Keseratus, mula-mula juga
dibangun dari sosok tokoh bernama Hartini. Dan penciptaan karakternya saya
mulai dari satu kalimat: "Aku inginkan laki-laki saleh itu!" Apa yang
kita pikirkan saat mendengarkan kalimat itu diucapkan oleh seorang wanita? Saya
tak pernah memikirkan bagaimana cerpen itu akan menemui jalannya, menemui
endingnya. Saya hanya berpikir, apa yang akan dilakukan oleh Hartini setelah mengatakan
itu, siapa saja orang-orang yang akan terlibat dalam kisahnya. Lalu muncullah
beberapa tokoh lain. Lalu saya dikejutkan dengan ide-ide yang tumbuh begitu
saja, seperti rumput di musim hujan. Dan tiba-tiba cerpen saya telah menemukan
endingnya sendiri.
"Saya tak akan pernah menulis
tentang seseorang yang tidak berada dalam keadaan genting," kata Stanley
Elkin, penulis The Dick Gibson Show.
Sebagaimana The Necklace karya
Maupassant, cobalah buat tokoh yang unik. Tokoh yang aneh. Tokoh dengan masa
lalu yang tidak biasa. Dia harus menonjol. Buatlah sampai tokoh itu hidup dan
bergerak-gerak di kepala kita. Karikatur fisik bisa menjadi pendukung dalam
menciptakan sosok tokoh yang hebat. Misal, bekas sayatan pada wajah, kumis yang
tebal dan melengkung ke atas, badan yang obesitas sehingga ketika berjalan
terengah-terengah. Semua itu akan sangat membantu dalam menguatkan karakter
tokoh.
Terakhir, pengarang harus masuk ke
dalam sosok tokoh. Bukan tokoh yang harus menyesuaikan dengan karakter nyata
pengarang. Karena itu, jika dalam cerita ada beberapa tokoh, pengarang juga
harus bisa menjiwai karakter setiap tokohnya. Kegagalan yang kerap kali terjadi
adalah, pengarang menyeragamkan karakter tokoh-tokohnya. Mulai pilihan kata
ketika berdialog, hingga cara mereka merespon sebuah masalah. Tak jarang,
pengarang tanpa ampun menjejalkan semua karakter miliknya ke dalam sosok tokoh
yang berbeda. Jika memang begitu, tulislah memoar atau otobiografi. Bukan
fiksi.
Trimakasih itu yg bs sy katakan setelah membaca " kekuatan cerota foksi sosok tokoh berkaraktet" sy baru menyadari bahwa dalam menulis cerita sangat penting mewujudkan karakter tokoh dalam cerita dan sy jd terispirasi krn saat sy menulis cerita yg terbersit pertama kali adalah plot ,,,ok trimakasih kak akannsy coba klo sy menulis cerita
BalasHapus