Sastra dan Kesunyian
Konon, Bung Hatta yang oleh Sjahrir
dijuluki sebagai "orang kering" karena jarangnya membaca sastra,
adalah penyuka War and Peace-nya
Tolstoy. Putri kedua beliau, Gemala Rabi'ah Hatta, bahkan mengaku sulit
menemukan novel diantara deretan koleksi ayahnya yang berkisar 10.000 buku itu.
Satu-satunya novel, hanyalah Gone With
the Wind-nya Margaret Mitchell.
Namun demikian, sewaktu di belanda,
Bung Hatta rajin sekali membaca novel. Tapi kemudian sebagian besar beliau
bagikan kepada teman-temannya sewaktu hendak pulang ke Indonesia, lantaran buku-buku
yang hendak diboyongnya telah berjumlah enam belas peti.
Bung Hatta juga membaca karya-karya
sastra dunia saat diasingkan di Digul dan Banda Neira. Meski akhirnya,
kebiasaan itu beliau tanggalkan selepas sibuk dengan tugas-tugas kenegaraan. Di
usia senjanya pun Bung Hatta terlampau sibuk dengan aktivitas mengajar dan
menulisnya.
Demikianlah, karya sastra seakan
lahir dari kesunyian, dan kesunyian menumbuhkan kerinduan pada sastra.
Sebagaimana Soe Hok Gie, yang meski hidup di tengah hiruk-pikuk dan gejolak
peralihan rezim, batinnya selalu dirundung sunyi. Ia seperti mengembara di
tengah kehampaan, dan oleh karenanya, sastra hadir mengobati keluh kesahnya,
sekaligus menyalakan sikap kritisnya.
Tidak Hanya Bung Hatta dan Soe Hok
Gie, Pramoedya pun mengakrabi kesunyian dengan sastra. Bumi Manusia, karya yang
kelak mengantarkannya sebagai kandidat nobelis sastra lahir di tempat
pengasingan, Pulau Buru.
Sunyi, telah banyak melahirkan
karya-karya indah. Bahkan tak jarang, kalian pun yang membaca tulisan ini,
pernah merasakan, bahwa saat kalian menulis dalam sunyi, seakan-akan itu adalah
karya terbaik yang pernah ditorehkan. Entah sunyi itu karena malam atau jauhnya
kebisingan, atau sunyi jiwa tersebab kesedihan yang curam.
sumber gambar: intisari.grid.id
0 Response to "Sastra dan Kesunyian"
Posting Komentar