Menulis dengan Emosi, Kiat Utama Menyuguhkan Fiksi
Saya membaca pendahuluan yang menarik dalam
buku ini: hal prinsipil yang harus
dilakukan seorang penulis adalah menulis, duduk di kursi dan mengarang cerita
(hal. 27)
Sederhana. Tetapi banyak yang gagal
melakukannya.
Mereka duduk dan menghidupkan laptop. Sementara
pikiran dan emosi belum dinyalakan. Tentu kita tidak bisa berharap, tiba-tiba
saja jari-jemari kita bergerak sendiri, sehingga secara ajaib tulisan kita
rampung dalam beberapa menit.
Mustahil!
Ketidakhadiran ide seringkali dijadikan kambing
hitam. Pada beberapa orang yang berambisi menulis fiksi, mereka mengaku
keringnya imajinasi sebagai penyebab utama. Tapi Carmel Bird mengatakan, sumber
fiksi yang utama sesungguhnya adalah pengalaman dan ingatan penulis. Seperti
yang diakui Marcel Proust, “Semua bahan untuk karya sastra tidak lain adalah
kehidupan masa lalu saya.”
Buku Menulis
dengan Emosi ini adalah semacam kumpulan surat menyurat fiktif yang ditulis
oleh Carmel Bird, pengarang sekaligus pengampu mata kuliah Creative Writing. Bird banyak mengutip petua hikmah para penulis
dunia, sehingga buku ini sangat meyakinkan untuk dijadikan referensi menulis
fiksi.
Namun harus disadari, sebagaimana seseorang
yang duduk manis di depan laptop tidak bisa serta merta menjadi penulis, dengan
membaca buku ini saja tidak akan langsung membuat Anda menjadi penulis fiksi.
Tapi setidaknya, buku ini akan memandu Anda.
Hal terpenting yang harus disadari pertama
kali: Anda harus memperlakukan tulisan
Anda sebagai tugas terpenting dalam hidup Anda (hal. 67). Mereka yang gagal
menulis apapun, karena mereka tak pernah menganggap bahwa menulis itu penting.
Jika tak bisa mencintai, setidaknya menulislah karena terpaksa. Seperti seorang
mahasiswa yang menyelesaikan skripsi karena ingin segera lulus, karena ingin
terbebas dari “belenggu” kampus.
Saya menyaksikan, banyak di antara mereka yang
mulanya menulis karena terpaksa, atau karena dipaksa, sekarang malah ketagihan
menulis setiap hari. Dua orang yang dijodohkan dan dipaksa menikah, kadang bisa
menumbuhkan cinta yang lebih indah dari bunga sakura di musim semi.
Bird, dalam bukunya ini tak terlalu banyak
memaparkan teori menulis fiksi. Sepertinya, ia ingin mengubah sesuatu yang jauh
lebih mendasar: persepsi. Ia seolah ingin mengatakan: tak penting teori, jika
kau belum mampu menghadirkan emosi. Ini senada dengan apa yang disampaikan oleh
Carrillo Mean, “Penyebab utama kematian prosa adalah tidak adanya kecintaan
penulis terhadap bahan tulisannya.”
Itulah yang selalu diulang-ulang oleh Carmel
Bird dalam surat-suratnya. Menulis adalah tentang emosi. Karena ia melibatkan
pikiran dan hati. Bukan otot. Bukan kemampuan memendang seperti bermain sepak
bola. Bukan kemampuan memukul seperti petinju. Jika emosi tidak menyala, maka
tulisan tidak akan pernah ada. Kalau pun ada, ia hambar. Seperti sayur tanpa
garam. Mungkin hanya bisa dibaca tapi tak bisa diambil saripatinya.
Beragam tips yang disuguhkan Bird bertaburan
dalam buku ini. Sebenarnya tidak hanya dari dia, tapi juga dari penulis-penulis
ternama. Karena itu, dalam bagian terakhir dari buku ini, dengan rendah hati
Bird menuliskan profil singkat penulis-penulis yang telah menginspirasinya.
Mulai Virginia Wolf, Hemingway, James Joyce, hingga Vladimir Nabokov.
Sebagian tips itu disajikan tidak secara
tekstual. Pembaca yang baik tentu akan bisa menangkapnya. Kuncinya, bacalah
perlahan. Dicermati, direnungkan.
Semua kiat-kiat itu akan berpulang pada satu
muara besar, seperti kata William Forrester dan Finding Forrester, “Menulislah –
pada awal—dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci
pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja
yang Anda rasakan.”
Book Review
#106. Review Menulis dengan Emosi. Karya Carmel Bird. Penerbit Kaifa, Bandung: Cetakan 1, Juli 2001. 260 halaman.
0 Response to "Menulis dengan Emosi, Kiat Utama Menyuguhkan Fiksi"
Posting Komentar